UMKM Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)



Memasuki tahun 2016 ini dimana MEA telah diterapkan, Indonesia harus mempunyai sesuatu yang mempunyai nilai tambah dari negara-negara lain di ASEAN. MEA merupakan sebuah gagasan dari bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terdidik antar negara ASEAN. Indonesia, dengan penduduknya yang berjumlah 241 juta jiwa lebih akan menjadi sasaran perdagangan karena sangat berpotensi menjadi basis konsumsi yang besar. Oleh karena itu, Indonesia harus mempunyai kekuatan tersendiri dalam menghadapi MEA.
            
    Para pemimpin ASEAN telah sepakat untuk mewujudkan MEA dengan 4 pilar, yaitu (1) pasar tunggal dan basis produksi, (2) kawasan ekonomi berdaya saing tinggi, (3) kawasan dengan pembangunan ekonomi yang setara, dan (4) kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Dengan adanya MEA, tujuang yang ingin dicapai adalah adnaya aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja terlatih (skilled labour), serta aliran investasi yang lebih bebas.
          
    Dalam penerapannya MEA akan menerapkan 12 sektor prioritas, yaitu perikanan, e-travel, e-ASEAN, automotif, logistic, industri berbasis kayu, industri berbasis karet, furnitur, makanan dan minuman, tekstil, serta kesehatan. Bagi Indonesia, pembentukan MEA akan memberikan persaingan dengan sesama negara ASEAN dan negara lain di luar ASEAN seperti India dan China. Persaingan ini juga akan berdampak pada sektor UMKM karena memiliki persamaan produk. Menyadari peran UMKM sebagai kelompok usaha yang memiliki jumlah paling besar dan cukup dominan dalam perekonomian, maka pencapaian kesuksesan MEA akan dipengaruhi oleh sektor UMKM Indonesia.

Kontribusi UMKM Indonesia
     Sudah banyak penelitian maupun artikel yang mendiskusikan hubungan positif antara UMKM dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, peran UMKM terhadap pengentasan kemiskinan, maupun perannya dalam menyerap tenaga kerja Indonesia. Beberapa hal ini yang menjadi basis utama Indonesia dalam menghadapi MEA yang sudah dibuka akhir Desember 2015. Dibandingkan dengan usaha yang berskala besar, UMKM terbukti lebih tahan dan resisten terhadap krisis ekonomi (Tambunan, 2004).
            
   UMKM memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia. Menurut data BPS 2014, jumlah UMKM di Indonesia sebanyak 57,89 juta unit, atau 99,99 persen dari total jumlah pelaku usaha nasional. UMKM memberikan kontribusi terhadap kesempatan kerja sebesar 96,99 persen, dan terhadap pembentukan PDB sebesar 60,34 persen. UMKM juga berkontribusi dalam penambahan devisa negara dalam bentuk penerimaan ekspor sebesar 27.700 milyar dan menciptakan peranan 4,86% terhadap total ekspor. Kontribusi UMKM terhadap devisa negara tersebut jauh lebih kecil daripada kontribusi usaha besar, sehingga UMKM lebih diberdayakan.
UMKM Indonesia dan MEA
     Sesungguhnya UMKM di Indonesia terdiri dari tiga kelompok yang berbeda, yakni usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah. Dalam konteks peran UMKM terhadap perekonomian perlu adanya upaya analisis kritis terhadap komposisi dan kontribusi masing-masing kelompok terhadap perekonomian tersebut. Muncul pertanyaan, kelompok manakah selama ini yang mempunyai peluang besar dalam mendapatkan kredit atau pembiayaan? Betulkah komposisi kredit atau pembiayaan tersebut mengakomodasi kebutuhan pembiayaan masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah?
   
     Dalam kenyataannya, masih banyak masyarakat berpenghasilan rendah yang hanya membutuhkan kredit atau pembiayaan sebesar Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta. Klasifikasi kredit UMKM khususnya untuk usaha mikro tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang berpenghasilan rendah. Dari berbagai Baitul Mal wa Tamwil (BMT) di Indonesia, data menunjukkan bahwa kredit atau pembiayaan usaha mikro ayng diberikan berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 2 juta.
            
     Jika dibandingkan dengan data Bank Indonesia dengan rata-rata kredit mikro adalah sebesar Rp 58 juta, maka dapat disimpulkan bahwa kredit atau pembiayaan yang selama ini didistribusikan belum menyentuh dan menjawab kebutuhan masyarakat. Kesimpulan tersebut juga didukung oleh data Bank Indonesia yang lain terkait dengan kesempatan dan kemampuan usaha mikro untuk mendapatkan akses kredit dari investor atau lembaga keuangan berdasarkan izin usaha.
            
   Beberapa isu populer yang menghalangi usaha mikro untuk mendapatkan kredit adalah legalitas uasaha, akses terbatas kepada institusi keuangan formal, termasuk adanya jaminan (collateral). Dari sisi inilah penting bagi pemerintah untuk mempermudah persyaratan, menyederhanakan proses, dan meniadakan biaya-biaya yang tidak jelas untuk mendapatkan izin usaha. Hal-hal ini perlu ditempuh oleh pemerintah agar UMKM Indonesia berkembang dan juga akan berdampak pada persaingan dalam menghadapi MEA.         

    Dalam rangka penguatan UMKM, kerjasama dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) merupakan hal yang tepat, terutama dalam menghadapi MEA. Namun, apabila hanya dengan LKMS kekuatannya belum begitu besar, dan sebaliknya hal ini melibatkan pemerintah melalui BUMN. Ketiga aspek ini diharapkan dapat berkerja sama dengan baik dalam berbagai aktifitas maupun kebijakan. Kendala permodalan yang dialami oleh sektor UMKM dapat diatasi dengan bekerjasama dengan LKMS untuk memberikan modal yang kisarannya kurang dari Rp 5 juta. Sudah banyak LKMS seperti Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), Baitul Mal wa Tamwil (BMT), ataupaun Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) yang siap memberikan bantuan permodalan kepada sektor UMKM
            
    Selain masalah regulasi dan permodalan, UMKM di Indonesia juga harus meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkecimpung di dalamnya. Untuk menghadapi MEA, SDM yang dibutuhkan adalah SDM yang inovatif, kreatif, dan kompetitif. Beberapa negara ASEAN telah banyak yang belajar bahasa Indonesia, agar mereka bersaing dengan masyarakat Indonesia, untuk itu, SDM Indonesia juga harus meningkatkan kadar kualitas manusianya. Dewasa ini, sudah banyak komunitas pengusaha seperti HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), KPMI (Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia), JPMI (Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia), Kadin (Kamar Dagag Indonesia) dan komunitas lainnya yang berlatar belakang pengusaha telah melakukan mentoring kepada pengusaha pemula agar mampu menghadapi persaingan baik di dalam negeri, kawasan dan global. Selain itu, komunitas ini juga memberikan perhatian terhadap pengusaha lokal agar dapat mengembangkan usahanya dan memperluas pasar perdagangan usaha mereka.

            
    Dalam menghadapi MEA, masyarakat Indonesia tidak perlu pesimis, ragu dan takut. Indonesia memiliki kekuatan tersendiri yang mempunyai keunikan dan kekhasan. Keunikan inilah yang terletak pada sektor UMKM, maka tidak salah jika Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa tulang punggung perekonomian Indonesia adalah UMKM. Untuk menghadapi persaingan ini, diperlukan kerjasama dan kekompakan seluruh elemen masyarakat, tidak hanya pemerintah namun juga harus melibatkan ulama, praktisi, akademisi, pengusaha, birokrasi, dan seluruh masyarakat Indonesia.

sumber : http://www.jabbarsambudi.com
Diberdayakan oleh Blogger.